Tugas Campus
MBP
SMS III
SMS III
Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata
I. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara
megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam,
flora dan fauna yang sangat tinggi. Para explorer dari dunia barat maupun timur
jauh telah mengunjungi Indonesia pada abad ke lima belas vang lalu. Perjalanan
eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan di bagian benua lain telah dilakukan
oleh Marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan
masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua
yang penuh dengan tantangan. Para adventnrer ini melakukan perjalanan ke alam
yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata. Sebagian perjalanan ini tidak
memberikan keuntungan konservasi daerah alami, kebudayaan asli dan atau spesies
langka (Lascurain, 1993).
Pada saat ini, ekowisata telah
berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung,
mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait
dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian
merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan
terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan
dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan
wisata
bertanggungjawab.
bertanggungjawab.
Belantara tropika basah di seluruh
kepulauan Indonesia merupakan suatu destinasi. Destinasi untuk wisata ekologis
dapat dimungkinkan mendapatkan manfaat sebesarbesarnya aspek ekologis, sosial
budaya dan ekonomi bagi masyarakat, pengelola dan pemerintah.
Destination areas elect to become
involved in tourism primarily for economic reasons: to provide employment
opportunities, to increase standard of leaving and, in the case of
international tourism to generate foreign exchange. Tourism is viewed as a
development tool and as a means of diversifying economics (Wall, 1995: 57).
Ekowisata merupakan suatu bentuk
wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi
pengembangan ekowisata juga menggunakan strategi konservasi. Dengan demikian
ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan
keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan ekowisata
pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan
dari para eco-traveler.
II. Pengertian Ekowisata
Ekowisata lebih populer dan banyak
dipergunakan dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah
ecotourism, yaitu ekoturisme. Terjemahan yang seharusnya dari ecotourism adalah
wisata ekologis. Yayasan Alam Mitra Indonesia (1995) membuat terjemahan
ecotourism dengan ekoturisme. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah
ekowisata yang banyak digunakan oleh para rimbawan. Hal ini diambil misalnya
dalam salah satu seminar dalam Reuni Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
(Fandeli,
1998). Kemudian Nasikun (1999), mempergunakan istilah ekowisata untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru muncul pada dekade delapan puluhan.
1998). Kemudian Nasikun (1999), mempergunakan istilah ekowisata untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru muncul pada dekade delapan puluhan.
Pengertian tentang ekowisata
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian
ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian
area yang masih alami (natural aren), memberi manfaat secara ekonomi dan
mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian
ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk
gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.
gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.
Definisi ekowisata yang pertama
diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut:
Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan
dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan
kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan
pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari,
di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Namun dalam perkembangannya ternyata
bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan.
Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan
bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah
bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang
yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Dari kedua
definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini.
definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini.
Bahkan di beberapa wilayah
berkembang suatu pemikiran baru yang berkait dengan pengertian ekowisata.
Fenomena pendidikan diperlukan dalam bentuk wisata ini. Hal ini seperti yang
didefinisikan oleh Australian Department of Tourism (Black, 1999) yang
mendefinisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan
aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya
masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi
penegasan bahwa aspek yang
terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.
terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.
III. Pendekatan Pengelolaan Ekowisata
Ekowisata merupakan bentuk wisata
yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam
dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara
konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam
untuk waktu kini dan masa mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat
oleh The International Union for Conservntion of Nature and Natural Resources
(1980), bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan
biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.
biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.
Sementara itu destinasi yang
diminati wisatawan ecotour adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai
obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar
Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang
lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek alam sebagai
daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area
alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara
sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus
dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal
alam.
Pendekatan lain bahwa ekowisata
harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian
ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:
- Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
- Melindungi keanekaragaman hayati.
- Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Di dalam pemanfaatan areal alam
untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua
pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding
pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik.
Kemudian pendekatan lainnya adalah
pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu
mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejah-teraannya.
Bahkan Eplerwood (1999) memberikan konsep dalam hal ini:
Urgent need to generate funding and
human resonrces for the management of protected areas in ways that meet the
needs of local rural populations
Salah satu yang dapat dilakukan adalah
dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan
kawasan dan masyarakat lokal.
IV. Konsep Pengembangan Ekowisata
Untuk mengembangkan ekowisata
dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang
perlu dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market.
Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven.
Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku
obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga
kelestarian dan keberadaannya.
Pada hakekatnya ekowisata yang
melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat
dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan
jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan
keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam,
tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek
ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.
ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.
IV. Prinsip Ekowisata
Pengembangan ekowisata di dalam
kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan.
Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh
karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi.
Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan
yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity
based). The Ecotourism Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada
delapan prinsip, yaitu:
delapan prinsip, yaitu:
- Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.
- Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
- Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
- Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.
- Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
- Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.
- Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
- Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.
VI. Penutup
Ekowisata mempunyai pengertian suatu
perjalanan wisata ke daerah yang masih alami. Meskipun perjalanan ini bersifat
berpetualang, namun wisatawan dapat menikmatmya. Ekowisata selalu menjaga
kualitas, keutuhan dan kelestarian alam serta budaya dengan rnenjamin
keberpihakan kepada masyarakat. Peranan masyarakat lokal sangat besar dalam
upaya menjaga keutuhan alam. Peranan ini dilaksanakan mulai saat perencanaan,
saat pelaksanaan pengembangan dan pengawasan dalam pemanfaatan.
*) Sumber : Pengusahaan Ekowisata (2000), Chafid Fandeli., Mukhlison., Fakultas Kehutanan Univ. Gadjah Mada Yogyakarta
EKOTURISME DI INDONESIA: PROSPEK,
TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA
Oleh: Yusran,
E-mail: yusranforest@yahoo.com
© 2001 Yusran Posted 8 June 2001
[rudyct]; Makalah Falsafah Sains (PPs 702), Program Pasca Sarjana / S3,
Institut Pertanian Bogor, Juni 2001;
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab), Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab), Prof Dr Ir Zahrial Coto
PENDAHULUAN
Konsep ekoturisme bermula dari para
konservasionis sebagai suatu strategi konservasi keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya. Konsep ini kemudian berkembang begitu cepat keberbagai belahan
dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan
pentingnya pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pola hidup back to
nature telah menjadi gaya hidup dan kebanggaan masyarakat modern saat ini.
Definisi ekoturisme pertama kali
diperkenalkan oleh Hector Ceballos dan Lascurain (1987) dan kemudian
disempurnakan oleh The Ecotourism Society (1993) dengan mendefinisikan
ekoturisme sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang
mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat.
Ekoturisme sesungguhnya adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh
dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial.
Sedangkan di Indonesia pembicaraan
mengenai ekoturisme mulai ramai sejak tahun 1990, setelah WALHI mengundang Kreg
Lindberg pakar dari Amerika serikat (Anggota TES) berbicara tentang ”parawisata
sebagai upaya pelestarian lingkungan, yang disebut sebagai ekoturisme”. Sejak
saat itu LSM – LSM mulai ramai memperbincangkan tentang ekoturisme. Kemudian
Pada tahun 1995 Lembaga Studi Pariwisata Indonesia, Conservation International
Indonesian Program dan Yayasan Bina Swadaya membentuk sebuah konsorsium
jaringan kerja yang disebut “Indonesia Ecotourism Network (INDECON) “ yeng
bertujuan memperkenalkan dan mempromosikan ekoturisme melalui berbagai bentuk
kegiatan, baik bersifat advokatif, penyebaran informasi, pelatihan dan kegiatan
lainnya. Namun demikian perkembangan ekoturisme yang menggembirakan saat ini di
Indonesia masih dalam taraf awal
Kekayaan sumberdaya alam yang
megadiversity merupakan potensi yang sangat menjanjikan, namun demikian masih
diperlukan usaha keras dan strategi yang tepat dalam perencanaan sampai ke
implementasinya untuk dapat mewujudkannya menjadi tujuan ekoturisme. Diperlukan
berbagai kajian, dan penelitian yang multidisiplin serta SDM yang profesional
untuk mengembangkannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tulisan ini
mencoba menguraikan secara menyeluruh mengenai prospek dan permasalahan ekoturisme
di Indonesia serta upaya –upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkannya.
PROSPEK EKOTURISME DI
INDONESIA: SEBUAH OPTIMISME
Potensi Ekoturisme di
Indonesia
Karakteristik wilayah Indonesia yang
terdiri dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merouke, sangat
kaya akan berbagai species hidupan liar dan berbagai tipe ekosistem yang
sebagian diantaranya tidak dijumpai dibelahan bumi manapun. Indonesia memiliki
10 % jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12 % binatang menyusui, 16 %
reptilia dan amfibia, 17 % burung, 25 % ikan, dan 15 % serangga, dengan luas
daratan hanya 1,32 % dari seluruh luas daratan yang ada didunia (BAPPENAS,
1993).
Sumber : BAPPENAS, 1991
Di dunia hewan Indonesia juga
mempunyai kedudukan yang istimewa di dunia, sekitar 500-600 jenis mamalia besar
(36 % endemik) 35 jenis primata (25 % endemik), 78 jenis paruh bengkok (40%
endemik) dan dari 121 jenis kupu-kupu (44% endemik) (McNeely et.al.1990,
Supriatna 1996). Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara Megadiversity
jenis hayati dan Mega Center keanekaragaman hayati dunia. Indonesia mempunyai
keanekaragaman hayati sebanding dengan Brazilia yang mempunyai luas daratan
lebih dari 5 kali besarnya (Supriatna, 2000).
Keanekaragaman flora dan fauna
tersebut tersebar diberbagai pulau yang ada di Indonesia, dan beberapa
diantaranya merupakan jenis endemik di kepulauan tertentu. Tabel 3 berikut ini
menunjukkan jumlah jenis flora dan fauna yang ada di kepulauan nusantara.
Sumber : BAPPENAS, 1991.
Keanekaragaman flora dan fauna
dengan ekosistem yang sangat beragam, tentunya menjadi daya tarik khusus untuk
dijadikan tujuan ekoturisme. Namun demikian pemanfaatannya harus hati-hati
karena jumlah populasi setiap individu tidak besar dan distribusinya sangat
terbatas. Dengan demikian pengembangan sistem pemanfaatannya pun tampaknya
harus berbeda. Pengembangan sumberdaya alam yang nonekstraktif dan nonkonsumtif
seperti ekoturisme harus menjadi pilihan utama. Kegiatan ekoturisme dapat
memberikan konstribusi dan menghasilkan sebuah mekanisme dana untuk kegiatan
konservasi.
Selain itu kawasan hutan untuk
konservasi yang memiliki ciri-ciri sebagai wakil dari ecotipe tertentu dapat
dimanfaatkan pula untuk pengembangan ekoturisme. Di dalam kawasan konservasi
ini biasanya kaya akan antraksi alam seperti air terjun, sungai, telaga, goa
yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekoturisme. Luas kawasan konservasi
sampai Bulan Pebruari 2000 dapat di lihat pada tabel 4 sebagai berikut.
Sumber : Direktorat Konservasi
Kawasan, 2000.
Saat ini diperkirakan terdapat
sekitar 2 juta Ha zona intensif di kawasan taman nasional dan taman buru yang
dapat dikembangkan untuk tujuan wisata. Diperkirakan kemampuan menampung
wisatawan yang tidak menimbulkan kerusakan sekitarnya adalah 2 juta Ha x 5
wisatawan hari kunjung atau 10 juta wisatawan hari kunjung. Apabila setiap
wisatwan dapat ditarik entrance fee minimal US $ 5, maka sektor kehutanan akan
memperoleh dana US $ 5 x 2 juta = US $ 10 juta (Chafid Fandeli, 1999).
Kegiatan ekoturisme juga dapat
dikembangkan pada pengelolaan hutan produksi. Kegiatan HPH yang dimulai dari
penanaman hingga penebangan dan angkutan merupakan atraksi wisata yang menarik.
Wisatawan mancanegara akan memperoleh suguhan atraksi alam dan buatan yang
berbeda di negaranya. Apabila setiap HPH mengembangkan ekoturisme dan mampu
menarik wisatawan 5 orang perhari per HPH, maka ada wisatawan sebanyak 450 HPH
x 5 orang x 360 hari = 810.000 wisatawan. Apabila setiap wisatawan belanja per
hari diperhitungkan 50 % dari US $ 150, maka sektor kehutanan dapat memperoleh
US $ 60,75 juta per hari atau US $ 4.56 million setahun. Hal ini jauh lebih
besar dari produksi kayu 30 juta m3 kayu gelondongan per tahunm dari HPH. Bila
diperhitungkan penghasilan eksploitasi kayu US $ 200/M3 akan diperoleh dana sebesar
US $ 6.000 juta atau US $ 6.00 million. Dari perhitungan ini maka HPH akan
memperoleh tambahan penghasilan yang lebih besar dari kegiatan pengelolaan
ekoturisme (Chafid Fandeli, 1999).
Ekoturisme : Konservasi
dan pemberdayaan Masyarakat
Penekanan ekoturisme pada sumberdaya
lokal menjadikan ekoturisme menarik bagi negara-negara berkembang. Ekoturisme
dipandang sebagai suatu cara untuk membayar konservasi alam dan meningkatkan
nilai lahan-lahan yang dibiarkan dalam kondisi alami. Para pekerja konservasi
ekonomi telah menyadari bahwa tidak mungkin dapat menyelamatkan alam dengan
mengorbangkan penduduk lokal.
Gambar 1. Skema ekoturisme dengan
output yang bukan saja ditujukan untuk menghibur manusia, tetapi juga
memperhatikan kepentingan alam.
Bila ecoturism diibaratkan sebuah
proses, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Yang menjadi inputnya adalah
manusia (wisatawan) dan alam (termasuk kehidupan penduduk setempat). Output
dari proses ini adalah output langsung baik bagi manusia maupuin bagi alam dan
output tak langsung. Output langsung yang dirasakan manusia adalah unsur
hiburan dan penambahan pengetahuan, sedangkan output langsung bagi alam adalah
perolehan dana yang dapat difungsikan untuk kegiatan konservasi alam secara
swadaya. Sedangkan output tak langsung yakni berupa tumbuhnya kesadaran dalam
diri wisatawan untuk lebih memperhatikan sikap hidupnya dihari-hari esok agar
tidak berdampak buruk pada alam.
Pengembangan ekoturisme akan
memberdayakan masyarakat lokal melalui kegiatan ekonomi dan penyerapan tenaga
kerja yang ditimbulkan oleh aktivitas ekoturisme. Pola ekoturisme akan secara
simultan melestarikan flora, fauna, sosial budaya masyarakat lokal dan secara
ekonomi sangat menguntungkan. Dari sisi ekonomi, kekayaan flora dan fauna serta
keberadaan kawasan konservasi akan menciptakan kegiatan ekonomi dan lapangan
kerja. Perolehan nilai ekonomi yang besar dapat digunakan untuk upaya
konservasi sumbedaya alam. Dan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas
ekoturisme akan menjamin keamanan dan keberadaan sumberdaya alam tersebut.
EKOTURISME DI INDONESIA:
TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA
Tantangan Pengembangan
Ekoturisme
Potensi sumberdaya alam yang
megadiversity merupakan peluang yang sangat prospek untuk pengembangan
ekoturisme. Namun kemampuan untuk merubah potensi yang dimiliki tersebut
menjadi potensi ekonomi belum dapat dilakukan secara optimal. Tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis (dan politis)
tersebut diatas menjadi keunggulan kompetitif di era pasar bebas.
Tantangan lainnya dalam pengembangan
ekoturisme adalah lemahnya kemampuan dalam pengelolaan data dan informasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Data dan informasi tentang jumlah,
jenis, prilaku serta ekosistem flora dan fauna masih sangat terbatas. Padahal
data-data tersebut merupakan dasar untuk merancang dan menyusun program
ekoturisme di suatu kawasan. Selain itu sarana dan prasarana yang dapat
menunjang kegiatan ekoturisme juga masih terbatas, sementara rendahnya kualitas
SDM dari segi pendidikan masih merupakan kenyataan yang masih harus dihadapi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan masih sangat tertinggal juga merupakan kendala
tersendiri dalam pengembangan ekoturisme. Masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan konservasi umumnya terbelakang dalam pendidikan dan ekonominya,
sehingga mereka tidak atau kurang paham terhadap kaidah-kaidah konservasi.
Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sebagai center ekoturisme akan
lestari, jika dapat mengatasi hal tersebut secara nyata dilapangan.
Sementara itu peran kelembagaan yang
ada sebagai alat manajemen belum efektif. Selain itu penanganannya masih
bersifat sentralistik, pada kawasan konservasi yang tiap daerah sangat
spesifik. Hal ini menyebabkan manajemen pengelolaan tidak akan berfungsi secara
efektif.
Melihat masih besarnya kendala dalam
pelaksanaanya dilapangan, maka peran berbagai stakeholder yaitu operator
wisata, pemandu lapangan, pemilik hotel, pengelolah taman, kelompok masyarakat
lokal, perencana dari pemerintah, LSM/NGO dan semua pihak yang terkait, harus
bekerja secara sinergi untuk menyelesaikan permasalah tersebut diatas.
Pembangunan sistem informasi manajemen konservasi sumber daya alam merupakan
suatu hal yang sangat diperlukan. Secara makro diperlukan tindakan
penyempurnaan kebijakan, dan institusi serta penguatan institusi.
Strategi Pengembangan
Ekoturisme
Pengembangan suatu kawasan menjadi
tujuan ekoturisme memerlukan perencanaan yang matang, waktu yang cukup lama dan
upaya kerja keras agar tujuan ekoturisme dapat terpenuhi. Mengembangkan
kegiatan ekoturisme memang bukan kegiatan yang mudah, memerlukan keahlian dari
berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai stakeholder. Hal ini disebabkan
karena kegiatan ekoturisme yang tidak terencana dengan baik akan mempunyai
resiko yang besar, bukan saja mengakibatkan kegagalan tetapi yang lebih
berbahaya adalah dampak negatif yang ditimbulkannya justru lebih besar dari
pada dampak positipnya, berupa rusaknya sumberdaya alam tersebut.
Carrying Capacity
Untuk mengantisipasi dampak negatif
yang ditimbulkan, maka sejak awal mulai proses perencanaan, penerapan, dan
pengelolaannya harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya dan
ekonomi. Secara strategik, daya dukung (carrying capacity) harus menjadi ukuran
baku dalam mengukur jumlah pengunjung, jenis kegiatan dan waktu kunjungan serta
pembangunan fasilitas wisata.
Carrying Capacity didefinisikan
sebagai level kehadiran pengunjung yang membawa dampak terhadap masyarakat
lokal, lingkungan, dan ekonomi yang masih dapat ditoleransi oleh pengunjung dan
masyarakat dan menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang. Disini
pentingnya mengatur jumlah kunjungan yang ditentukan oleh beberapa faktor:
lamanya tinggal, karakteristik turis, konsentrasi pengunjung secara geografis
dan derajat musiman. Gambar dibawah ini menunjukkan skema framework untuk
menentukan carrying capacity
Konsep carrying capacity
mempertimbangkan aspek fisik, ekologi, psikologi dan sosial, sehingga dalam
penerapannya bervariasi menurut tempat dan kondisi yang berbeda pula. Jadi
carrying capacity bukan konsep yang tetap, tetapi keputusan manajemen yang
bersifat spesifik dan dinamis.
Konsep carrying capacity disamping
dapat mencegah kerusakan lingkungan juga dapat mencegah penurunan nilai ekonomi
dari lokasi turisme. Dengan konsep carrying capacity, kondisi lingkungan
kawasan turisme akan lestari, sehingga keunikan dan keindahan alam sebagai daya
tarik turis akan tetap terjaga. Dengan demikian akan menjamin kelestarian untuk
periode yang akan datang.
Ekoturisme Berbasis
Pedesaan
Partisipasi masyarakat lokal didalam
perencanaan, implementasi dan pengelolaan proyek ekoturisme adalah kunci dari
kesuksesan proyek. Untuk kesuksesan konservasi habitat, maka masyarakat lokal
harus menjadi pemain utama dalam proyek pembangunan. Masyarakat harus
mendapatkan keuntungan ekonomi secara signifikan dari proyek sebagai kompensasi
dari kehilangan akses terhadap sumberdaya tersebut.
Mengambil pelajaran dari kegagalan
beberapa proyek ekoturisme karena kurangnya kontrol lokal dan menggabungkannya
dengan beberapa contoh keberhasilan program ekoturisme seperti pengalaman di
Belize, beberapa saran dalam perencanaan ekoturisme berbasis kemasyarakatan di
masa akan datang adalah :
- Level Pedesaan : semua direncanakan dan diterapkan pada level desa, walaupun proyek tersebut mempunyai cakupan yang lebih luas.
- Integrasi Lokal : Ekoturisme yang murni harus mengintegrasikan masyarakat lokal sebagai mitra sejajar dalam disain, pelaksanaan dan setiap aspek kegiatan proyek.
- Kekuatan lokal yang sah dan berskala luas : Masyarakay harus berpendidikan dan diperkuat dalam hal manajemen dan administrasi pekerjaan. Proyek harus berbasis luas dengan derajat partisipasi yang luas daripada hanya segelintir orang atau lembaga.
- Penggunaan sumberdaya yang tersedia : Penggunaan tenaga kerja, pemandu dan bahan-bahan lokal yang tersedia.
- Cakupan atas skala yang memadai : rancangan dan pembangunan harus pada skala yang tepat dengan kondisi kehidupan setempat, struktur sosial, pandangan budaya, pola subsistem dan organisasi kemasyarakatan.
- Kelestarian / kesinambungan : Bekerja untuk kelestarian jangka panjang dan berkesinambungan usaha-usaha konservasi.
- Kebutuhan lokal dan konservasi adalah hal utama : kebutuhan turis harus merupakan prioritas kedua, setelah usaha konservasi sumberdaya termasuk termasuk didalamnya masyarakat lokal.
- Profesionalisme harus menjadi bagian : Melibatkan para ahli untuk ikut merancang dan diikutsertakan dalam kegiatan praktis yang berhubungan dengan tanggungjawab dan manfaat konservasi.
- Konservasi adalah strategi pembangunan yang hidup
- Dukungan pemerintah : Pemerintah dan juga kelompok konservasi nasional harus aktif mendorong masyarakat lokal kedalam ekoturisme.
- Investor dan operator yang berhati-hati : Investor asing harus didorong untuk menanam modal pada proyek ekoturisme yang berbasis masyarakat sebagai mitra sejajar dengan masyarakat lokal ataupun investor lokal.
Penelitian dan Pendidikan
Kegiatan penelitian dalam bidang
ekoturisme barangkali merupakan kegiatan yang tidak ada habis-habisnya, dan
perlu dilaksanakan pada berbagai tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga ke monitoring. Melalui penelitian akan diperoleh informasi yang
diinginkan, sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan suatu
program. Penelitian juga dapat membantu memformulasikan aturan dan kebijakan
terhadap kegiatan ekoturisme (Ani Mardiastuti, 2000).
Salah satu konsep yang ditawarkan
dalam pengembangan ekoturisme adalah menggunakan prinsip Participatory Action
Research (PAR) yang dikemukakan oleh Ryan dan Robinson (1990), secara umum
mempunyai lima prinsip penelitian yaitu :
- Penelitian harus melibatkan masyarakat secara penuh dan aktif mulai dari proses penelitian.
- Penelitian harus melibatkan seluruh komponen masyarakat secara penuh: kaum miskin, tertekan dan kelompok yang tereksploitasi.
- Proses penelitian dapat membuat sadar masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan menggerakkan untuk membangun kepercayaan diri.
- Metode penelitian yang digunakan harus teliti dan menggunakan analisis autentik berdasarkan realitas sosial.
- Peneliti adalah orang yang mempunyai komitmen dan belajar dari proses penelitian
Sedangkan kegiatan pendidikan
ekoturisme pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu pendidikan untuk para ekoturis
dan pendidikan bagi para penyelenggara kegiatan ekoturisme. Aspek pendidikan
yang akan diterima oleh para ekoturis sangat bergantung dari kualitas program
yang diikutinya. Program yang diikuti para ekoturis merupakan akumulasi
pengetahuan para stakeholder, khususnya penyelengga (operator) turisme. Oleh
karena itu pendidikan bagi penyelenggara kegiatan ekoturisme merupakan hal yang
sangat penting (Ani Mardiastuti, 2000).
Kegiatan pendidikan umum diperlukan
oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kegiatan ekoturisme, yaitu
pemerintah, masyarakat, LSM, pengusaha, lembaga donor, biro perjalanan, tour
operator, tour guide, pelaksana home stay, pembuat dan pedagang cinderamata,
serta peneliti. Pendidikan ini diperlukan untuk menyamakan visi dan pemahaman
tentang konsep ekoturisme diantara para stakeholders. Sedangkan pendidikan
khusus ditujukan kepada stakeholder tertentu untuk meningkatkan kesadaran,
pemahaman, atau keterampilan dari stakeholder tersebut (Ani Mardiastuti, 2000).
PENUTUP
Potensi sumberdaya alam yang
megadiversity merupakan peluang yang sangat prospek untuk pengembangan
ekoturisme. Ekoturisme dapat memberikan kontribusi dan menghasilkan sebuah
mekanisme dana untuk kegiatan konservasi dan secara ekonomi akan memberdayakan
masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekoturisme akan
menjamin keamanan dan keberadaan sumberdaya alam tersebut.
Tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan ekoturisme adalah bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis
(dan politis) menjadi keunggulan kompetitif di era pasar bebas. Kerjasama yang
sinergi antara semua stakeholder merupakan jawaban untuk mengatasi berbagai
kendala dalam pengembangan ekoturisme.
Pengembangan ekoturisme memerlukan
keahlian yang multidisiplin dan melibatkan berbagai stakeholder. Konsep
carrying capacity dan partisipasi masyarakat lokal harus menjadi pertimbangan
mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan program.
Kegiatan penelitian diperlukan
sebagai dasar pelaksanaan program, sedangkan pendidikan diperlukan untuk
penyamaan visi, kesadaran, pemahaman, atau keterampilan para stakeholder.
Pendidikan dan penelitian sangat menentukan kualitas dan keberhasilan program
ekoturisme.
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action
Plan For Indonesia. Jakarta.
Dephutbun. 2000. Teknik Pengelolaan
dan Kebijaksanaan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Proceeding Workshop.
Bogor.
Dirjen PKA. 2000. Kebijakan dan
Pengelolaan Kawasan Konservasi. Makalah diskusi Widiaswara Dephutbun. Bogor.
David Western. 1993. Memberi Batasan
tentang Ekoturisme. Ekoturisme Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. The
Ecotourism Society. North Bennington, Vermonth.
Dorfman, Robert and Nancy S.
Dorfman, 1977. Economic of The Environment. Secon Edition. WW.Norton and
Company.Inc.New York.
Fandeli, C., 1999. Pengembangan
Ekowisata dengan Paradigma baru Pengelolaan Areal Konservasi. Makalah dalam
lokakarnya Paradigma Baru Manajemen Konservasi. Yogyakarta.
Kodyat, H. 1998. Sejarah Lahirnya
Ekowisata di Indonesia. Makalah Workshop dan Pelatihan Ekowisata. Yayasan
Kehati. Bali.
Mardiastuti, A., 2000. Penelitian
dan Pendidikan untuk Kegiatan Ekoturisme di Taman Nasional. Makalah dalam
lokakarya Pengembangan Ekoturisme di Taman Nasional. Cisarua Bogor.
INDECOM. 1996. Hasil Simposium
Ekoturisme Indonesia. Gadog. Bogor.
Supriatna, J. 1995. Ekowisata dan
Prospeknya di Indonesia: sudut Pandang dari Biologi Konservasi. Pusat Studi
Biodiversitas dan Konservasi Universitas Indonesia dan Conservation
International Indonesia Program. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar