Minggu, 07 Oktober 2012

Konsep Dasar Ekowisata


 Tugas Campus 
MBP
SMS III
Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata

I. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Para explorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi Indonesia pada abad ke lima belas vang lalu. Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan di bagian benua lain telah dilakukan oleh Marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para adventnrer ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata. Sebagian perjalanan ini tidak memberikan keuntungan konservasi daerah alami, kebudayaan asli dan atau spesies langka (Lascurain, 1993).
Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata
bertanggungjawab.
Belantara tropika basah di seluruh kepulauan Indonesia merupakan suatu destinasi. Destinasi untuk wisata ekologis dapat dimungkinkan mendapatkan manfaat sebesarbesarnya aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, pengelola dan pemerintah.
Destination areas elect to become involved in tourism primarily for economic reasons: to provide employment opportunities, to increase standard of leaving and, in the case of international tourism to generate foreign exchange. Tourism is viewed as a development tool and as a means of diversifying economics (Wall, 1995: 57).
Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi pengembangan ekowisata juga menggunakan strategi konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan ekowisata pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari para eco-traveler.
II. Pengertian Ekowisata
Ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme. Terjemahan yang seharusnya dari ecotourism adalah wisata ekologis. Yayasan Alam Mitra Indonesia (1995) membuat terjemahan ecotourism dengan ekoturisme. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah ekowisata yang banyak digunakan oleh para rimbawan. Hal ini diambil misalnya dalam salah satu seminar dalam Reuni Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (Fandeli,
1998). Kemudian Nasikun (1999), mempergunakan istilah ekowisata untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru muncul pada dekade delapan puluhan.
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural aren), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk
gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.
Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Dari kedua
definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini.
Bahkan di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran baru yang berkait dengan pengertian ekowisata. Fenomena pendidikan diperlukan dalam bentuk wisata ini. Hal ini seperti yang didefinisikan oleh Australian Department of Tourism (Black, 1999) yang mendefinisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi penegasan bahwa aspek yang
terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam.
III. Pendekatan Pengelolaan Ekowisata
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International Union for Conservntion of Nature and Natural Resources (1980), bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan
biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.
Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.
Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:
  1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
  2. Melindungi keanekaragaman hayati.
  3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik.
Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejah-teraannya. Bahkan Eplerwood (1999) memberikan konsep dalam hal ini:
Urgent need to generate funding and human resonrces for the management of protected areas in ways that meet the needs of local rural populations
Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal.
IV. Konsep Pengembangan Ekowisata
Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya.
Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek
ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.
IV. Prinsip Ekowisata
Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan  (commnnity based). The Ecotourism Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada
delapan prinsip, yaitu:
  1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.
  2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
  3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
  4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.
  5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
  6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.
  7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
  8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.
VI. Penutup
Ekowisata mempunyai pengertian suatu perjalanan wisata ke daerah yang masih alami. Meskipun perjalanan ini bersifat berpetualang, namun wisatawan dapat menikmatmya. Ekowisata selalu menjaga kualitas, keutuhan dan kelestarian alam serta budaya dengan rnenjamin keberpihakan kepada masyarakat. Peranan masyarakat lokal sangat besar dalam upaya menjaga keutuhan alam. Peranan ini dilaksanakan mulai saat perencanaan, saat pelaksanaan pengembangan dan pengawasan dalam pemanfaatan.

*) Sumber : Pengusahaan Ekowisata (2000), Chafid Fandeli., Mukhlison., Fakultas Kehutanan Univ. Gadjah Mada Yogyakarta
EKOTURISME DI INDONESIA: PROSPEK, TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA
Oleh:  Yusran, E-mail: yusranforest@yahoo.com
© 2001 Yusran Posted 8 June 2001 [rudyct];  Makalah Falsafah Sains (PPs 702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Juni 2001;
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab), Prof Dr Ir Zahrial Coto
PENDAHULUAN
Konsep ekoturisme bermula dari para konservasionis sebagai suatu strategi konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Konsep ini kemudian berkembang begitu cepat keberbagai belahan dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pola hidup back to nature telah menjadi gaya hidup dan kebanggaan masyarakat modern saat ini.
Definisi ekoturisme pertama kali diperkenalkan oleh Hector Ceballos dan Lascurain (1987) dan kemudian disempurnakan oleh The Ecotourism Society (1993) dengan mendefinisikan ekoturisme sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat. Ekoturisme sesungguhnya adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial.
Sedangkan di Indonesia pembicaraan mengenai ekoturisme mulai ramai sejak tahun 1990, setelah WALHI mengundang Kreg Lindberg pakar dari Amerika serikat (Anggota TES) berbicara tentang ”parawisata sebagai upaya pelestarian lingkungan, yang disebut sebagai ekoturisme”. Sejak saat itu LSM – LSM mulai ramai memperbincangkan tentang ekoturisme. Kemudian Pada tahun 1995 Lembaga Studi Pariwisata Indonesia, Conservation International Indonesian Program dan Yayasan Bina Swadaya membentuk sebuah konsorsium jaringan kerja yang disebut “Indonesia Ecotourism Network (INDECON) “ yeng bertujuan memperkenalkan dan mempromosikan ekoturisme melalui berbagai bentuk kegiatan, baik bersifat advokatif, penyebaran informasi, pelatihan dan kegiatan lainnya. Namun demikian perkembangan ekoturisme yang menggembirakan saat ini di Indonesia masih dalam taraf awal
Kekayaan sumberdaya alam yang megadiversity merupakan potensi yang sangat menjanjikan, namun demikian masih diperlukan usaha keras dan strategi yang tepat dalam perencanaan sampai ke implementasinya untuk dapat mewujudkannya menjadi tujuan ekoturisme. Diperlukan berbagai kajian, dan penelitian yang multidisiplin serta SDM yang profesional untuk mengembangkannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tulisan ini mencoba menguraikan secara menyeluruh mengenai prospek dan permasalahan ekoturisme di Indonesia serta upaya –upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkannya.
PROSPEK EKOTURISME DI INDONESIA:  SEBUAH OPTIMISME
Potensi Ekoturisme di Indonesia
Karakteristik wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merouke, sangat kaya akan berbagai species hidupan liar dan berbagai tipe ekosistem yang sebagian diantaranya tidak dijumpai dibelahan bumi manapun. Indonesia memiliki 10 % jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12 % binatang menyusui, 16 % reptilia dan amfibia, 17 % burung, 25 % ikan, dan 15 % serangga, dengan luas daratan hanya 1,32 % dari seluruh luas daratan yang ada didunia (BAPPENAS, 1993).
a01
Sumber : BAPPENAS, 1991
Di dunia hewan Indonesia juga mempunyai kedudukan yang istimewa di dunia, sekitar 500-600 jenis mamalia besar (36 % endemik) 35 jenis primata (25 % endemik), 78 jenis paruh bengkok (40% endemik) dan dari 121 jenis kupu-kupu (44% endemik) (McNeely et.al.1990, Supriatna 1996). Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara Megadiversity jenis hayati dan Mega Center keanekaragaman hayati dunia. Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati sebanding dengan Brazilia yang mempunyai luas daratan lebih dari 5 kali besarnya (Supriatna, 2000).
a02
Keanekaragaman flora dan fauna tersebut tersebar diberbagai pulau yang ada di Indonesia, dan beberapa diantaranya merupakan jenis endemik di kepulauan tertentu. Tabel 3 berikut ini menunjukkan jumlah jenis flora dan fauna yang ada di kepulauan nusantara.
a03
Sumber : BAPPENAS, 1991.
Keanekaragaman flora dan fauna dengan ekosistem yang sangat beragam, tentunya menjadi daya tarik khusus untuk dijadikan tujuan ekoturisme. Namun demikian pemanfaatannya harus hati-hati karena jumlah populasi setiap individu tidak besar dan distribusinya sangat terbatas. Dengan demikian pengembangan sistem pemanfaatannya pun tampaknya harus berbeda. Pengembangan sumberdaya alam yang nonekstraktif dan nonkonsumtif seperti ekoturisme harus menjadi pilihan utama. Kegiatan ekoturisme dapat memberikan konstribusi dan menghasilkan sebuah mekanisme dana untuk kegiatan konservasi.
Selain itu kawasan hutan untuk konservasi yang memiliki ciri-ciri sebagai wakil dari ecotipe tertentu dapat dimanfaatkan pula untuk pengembangan ekoturisme. Di dalam kawasan konservasi ini biasanya kaya akan antraksi alam seperti air terjun, sungai, telaga, goa yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekoturisme. Luas kawasan konservasi sampai Bulan Pebruari 2000 dapat di lihat pada tabel 4 sebagai berikut.
a04
Sumber : Direktorat Konservasi Kawasan, 2000.
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 2 juta Ha zona intensif di kawasan taman nasional dan taman buru yang dapat dikembangkan untuk tujuan wisata. Diperkirakan kemampuan menampung wisatawan yang tidak menimbulkan kerusakan sekitarnya adalah 2 juta Ha x 5 wisatawan hari kunjung atau 10 juta wisatawan hari kunjung. Apabila setiap wisatwan dapat ditarik entrance fee minimal US $ 5, maka sektor kehutanan akan memperoleh dana US $ 5 x 2 juta = US $ 10 juta (Chafid Fandeli, 1999).
Kegiatan ekoturisme juga dapat dikembangkan pada pengelolaan hutan produksi. Kegiatan HPH yang dimulai dari penanaman hingga penebangan dan angkutan merupakan atraksi wisata yang menarik. Wisatawan mancanegara akan memperoleh suguhan atraksi alam dan buatan yang berbeda di negaranya. Apabila setiap HPH mengembangkan ekoturisme dan mampu menarik wisatawan 5 orang perhari per HPH, maka ada wisatawan sebanyak 450 HPH x 5 orang x 360 hari = 810.000 wisatawan. Apabila setiap wisatawan belanja per hari diperhitungkan 50 % dari US $ 150, maka sektor kehutanan dapat memperoleh US $ 60,75 juta per hari atau US $ 4.56 million setahun. Hal ini jauh lebih besar dari produksi kayu 30 juta m3 kayu gelondongan per tahunm dari HPH. Bila diperhitungkan penghasilan eksploitasi kayu US $ 200/M3 akan diperoleh dana sebesar US $ 6.000 juta atau US $ 6.00 million. Dari perhitungan ini maka HPH akan memperoleh tambahan penghasilan yang lebih besar dari kegiatan pengelolaan ekoturisme (Chafid Fandeli, 1999).
Ekoturisme : Konservasi dan pemberdayaan Masyarakat
Penekanan ekoturisme pada sumberdaya lokal menjadikan ekoturisme menarik bagi negara-negara berkembang. Ekoturisme dipandang sebagai suatu cara untuk membayar konservasi alam dan meningkatkan nilai lahan-lahan yang dibiarkan dalam kondisi alami. Para pekerja konservasi ekonomi telah menyadari bahwa tidak mungkin dapat menyelamatkan alam dengan mengorbangkan penduduk lokal.
a05
Gambar 1. Skema ekoturisme dengan output yang bukan saja ditujukan untuk menghibur manusia, tetapi juga memperhatikan kepentingan alam.
Bila ecoturism diibaratkan sebuah proses, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Yang menjadi inputnya adalah manusia (wisatawan) dan alam (termasuk kehidupan penduduk setempat). Output dari proses ini adalah output langsung baik bagi manusia maupuin bagi alam dan output tak langsung. Output langsung yang dirasakan manusia adalah unsur hiburan dan penambahan pengetahuan, sedangkan output langsung bagi alam adalah perolehan dana yang dapat difungsikan untuk kegiatan konservasi alam secara swadaya. Sedangkan output tak langsung yakni berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri wisatawan untuk lebih memperhatikan sikap hidupnya dihari-hari esok agar tidak berdampak buruk pada alam.
Pengembangan ekoturisme akan memberdayakan masyarakat lokal melalui kegiatan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh aktivitas ekoturisme. Pola ekoturisme akan secara simultan melestarikan flora, fauna, sosial budaya masyarakat lokal dan secara ekonomi sangat menguntungkan. Dari sisi ekonomi, kekayaan flora dan fauna serta keberadaan kawasan konservasi akan menciptakan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja. Perolehan nilai ekonomi yang besar dapat digunakan untuk upaya konservasi sumbedaya alam. Dan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekoturisme akan menjamin keamanan dan keberadaan sumberdaya alam tersebut.
EKOTURISME DI INDONESIA: TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA
Tantangan Pengembangan Ekoturisme
Potensi sumberdaya alam yang megadiversity merupakan peluang yang sangat prospek untuk pengembangan ekoturisme. Namun kemampuan untuk merubah potensi yang dimiliki tersebut menjadi potensi ekonomi belum dapat dilakukan secara optimal. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis (dan politis) tersebut diatas menjadi keunggulan kompetitif di era pasar bebas.
Tantangan lainnya dalam pengembangan ekoturisme adalah lemahnya kemampuan dalam pengelolaan data dan informasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Data dan informasi tentang jumlah, jenis, prilaku serta ekosistem flora dan fauna masih sangat terbatas. Padahal data-data tersebut merupakan dasar untuk merancang dan menyusun program ekoturisme di suatu kawasan. Selain itu sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekoturisme juga masih terbatas, sementara rendahnya kualitas SDM dari segi pendidikan masih merupakan kenyataan yang masih harus dihadapi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan masih sangat tertinggal juga merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan ekoturisme. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi umumnya terbelakang dalam pendidikan dan ekonominya, sehingga mereka tidak atau kurang paham terhadap kaidah-kaidah konservasi. Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sebagai center ekoturisme akan lestari, jika dapat mengatasi hal tersebut secara nyata dilapangan.
Sementara itu peran kelembagaan yang ada sebagai alat manajemen belum efektif. Selain itu penanganannya masih bersifat sentralistik, pada kawasan konservasi yang tiap daerah sangat spesifik. Hal ini menyebabkan manajemen pengelolaan tidak akan berfungsi secara efektif.
Melihat masih besarnya kendala dalam pelaksanaanya dilapangan, maka peran berbagai stakeholder yaitu operator wisata, pemandu lapangan, pemilik hotel, pengelolah taman, kelompok masyarakat lokal, perencana dari pemerintah, LSM/NGO dan semua pihak yang terkait, harus bekerja secara sinergi untuk menyelesaikan permasalah tersebut diatas. Pembangunan sistem informasi manajemen konservasi sumber daya alam merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Secara makro diperlukan tindakan penyempurnaan kebijakan, dan institusi serta penguatan institusi.
Strategi Pengembangan Ekoturisme
Pengembangan suatu kawasan menjadi tujuan ekoturisme memerlukan perencanaan yang matang, waktu yang cukup lama dan upaya kerja keras agar tujuan ekoturisme dapat terpenuhi. Mengembangkan kegiatan ekoturisme memang bukan kegiatan yang mudah, memerlukan keahlian dari berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai stakeholder. Hal ini disebabkan karena kegiatan ekoturisme yang tidak terencana dengan baik akan mempunyai resiko yang besar, bukan saja mengakibatkan kegagalan tetapi yang lebih berbahaya adalah dampak negatif yang ditimbulkannya justru lebih besar dari pada dampak positipnya, berupa rusaknya sumberdaya alam tersebut.
Carrying Capacity
Untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan, maka sejak awal mulai proses perencanaan, penerapan, dan pengelolaannya harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Secara strategik, daya dukung (carrying capacity) harus menjadi ukuran baku dalam mengukur jumlah pengunjung, jenis kegiatan dan waktu kunjungan serta pembangunan fasilitas wisata.
Carrying Capacity didefinisikan sebagai level kehadiran pengunjung yang membawa dampak terhadap masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi yang masih dapat ditoleransi oleh pengunjung dan masyarakat dan menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang. Disini pentingnya mengatur jumlah kunjungan yang ditentukan oleh beberapa faktor: lamanya tinggal, karakteristik turis, konsentrasi pengunjung secara geografis dan derajat musiman. Gambar dibawah ini menunjukkan skema framework untuk menentukan carrying capacity
a06
Konsep carrying capacity mempertimbangkan aspek fisik, ekologi, psikologi dan sosial, sehingga dalam penerapannya bervariasi menurut tempat dan kondisi yang berbeda pula. Jadi carrying capacity bukan konsep yang tetap, tetapi keputusan manajemen yang bersifat spesifik dan dinamis.
Konsep carrying capacity disamping dapat mencegah kerusakan lingkungan juga dapat mencegah penurunan nilai ekonomi dari lokasi turisme. Dengan konsep carrying capacity, kondisi lingkungan kawasan turisme akan lestari, sehingga keunikan dan keindahan alam sebagai daya tarik turis akan tetap terjaga. Dengan demikian akan menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang.
Ekoturisme Berbasis Pedesaan
Partisipasi masyarakat lokal didalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan proyek ekoturisme adalah kunci dari kesuksesan proyek. Untuk kesuksesan konservasi habitat, maka masyarakat lokal harus menjadi pemain utama dalam proyek pembangunan. Masyarakat harus mendapatkan keuntungan ekonomi secara signifikan dari proyek sebagai kompensasi dari kehilangan akses terhadap sumberdaya tersebut.
Mengambil pelajaran dari kegagalan beberapa proyek ekoturisme karena kurangnya kontrol lokal dan menggabungkannya dengan beberapa contoh keberhasilan program ekoturisme seperti pengalaman di Belize, beberapa saran dalam perencanaan ekoturisme berbasis kemasyarakatan di masa akan datang adalah :
  • Level Pedesaan : semua direncanakan dan diterapkan pada level desa, walaupun proyek tersebut mempunyai cakupan yang lebih luas.
  • Integrasi Lokal : Ekoturisme yang murni harus mengintegrasikan masyarakat lokal sebagai mitra sejajar dalam disain, pelaksanaan dan setiap aspek kegiatan proyek.
  • Kekuatan lokal yang sah dan berskala luas : Masyarakay harus berpendidikan dan diperkuat dalam hal manajemen dan administrasi pekerjaan. Proyek harus berbasis luas dengan derajat partisipasi yang luas daripada hanya segelintir orang atau lembaga.
  • Penggunaan sumberdaya yang tersedia : Penggunaan tenaga kerja, pemandu dan bahan-bahan lokal yang tersedia.
  • Cakupan atas skala yang memadai : rancangan dan pembangunan harus pada skala yang tepat dengan kondisi kehidupan setempat, struktur sosial, pandangan budaya, pola subsistem dan organisasi kemasyarakatan.
  • Kelestarian / kesinambungan : Bekerja untuk kelestarian jangka panjang dan berkesinambungan usaha-usaha konservasi.
  • Kebutuhan lokal dan konservasi adalah hal utama : kebutuhan turis harus merupakan prioritas kedua, setelah usaha konservasi sumberdaya termasuk termasuk didalamnya masyarakat lokal.
  • Profesionalisme harus menjadi bagian : Melibatkan para ahli untuk ikut merancang dan diikutsertakan dalam kegiatan praktis yang berhubungan dengan tanggungjawab dan manfaat konservasi.
  • Konservasi adalah strategi pembangunan yang hidup
  • Dukungan pemerintah : Pemerintah dan juga kelompok konservasi nasional harus aktif mendorong masyarakat lokal kedalam ekoturisme.
  • Investor dan operator yang berhati-hati : Investor asing harus didorong untuk menanam modal pada proyek ekoturisme yang berbasis masyarakat sebagai mitra sejajar dengan masyarakat lokal ataupun investor lokal.
Penelitian dan Pendidikan
Kegiatan penelitian dalam bidang ekoturisme barangkali merupakan kegiatan yang tidak ada habis-habisnya, dan perlu dilaksanakan pada berbagai tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga ke monitoring. Melalui penelitian akan diperoleh informasi yang diinginkan, sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan suatu program. Penelitian juga dapat membantu memformulasikan aturan dan kebijakan terhadap kegiatan ekoturisme (Ani Mardiastuti, 2000).
Salah satu konsep yang ditawarkan dalam pengembangan ekoturisme adalah menggunakan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang dikemukakan oleh Ryan dan Robinson (1990), secara umum mempunyai lima prinsip penelitian yaitu :
  1. Penelitian harus melibatkan masyarakat secara penuh dan aktif mulai dari proses penelitian.
  2. Penelitian harus melibatkan seluruh komponen masyarakat secara penuh: kaum miskin, tertekan dan kelompok yang tereksploitasi.
  3. Proses penelitian dapat membuat sadar masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan menggerakkan untuk membangun kepercayaan diri.
  4. Metode penelitian yang digunakan harus teliti dan menggunakan analisis autentik berdasarkan realitas sosial.
  5. Peneliti adalah orang yang mempunyai komitmen dan belajar dari proses penelitian
Sedangkan kegiatan pendidikan ekoturisme pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu pendidikan untuk para ekoturis dan pendidikan bagi para penyelenggara kegiatan ekoturisme. Aspek pendidikan yang akan diterima oleh para ekoturis sangat bergantung dari kualitas program yang diikutinya. Program yang diikuti para ekoturis merupakan akumulasi pengetahuan para stakeholder, khususnya penyelengga (operator) turisme. Oleh karena itu pendidikan bagi penyelenggara kegiatan ekoturisme merupakan hal yang sangat penting (Ani Mardiastuti, 2000).
Kegiatan pendidikan umum diperlukan oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kegiatan ekoturisme, yaitu pemerintah, masyarakat, LSM, pengusaha, lembaga donor, biro perjalanan, tour operator, tour guide, pelaksana home stay, pembuat dan pedagang cinderamata, serta peneliti. Pendidikan ini diperlukan untuk menyamakan visi dan pemahaman tentang konsep ekoturisme diantara para stakeholders. Sedangkan pendidikan khusus ditujukan kepada stakeholder tertentu untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, atau keterampilan dari stakeholder tersebut (Ani Mardiastuti, 2000).
PENUTUP
Potensi sumberdaya alam yang megadiversity merupakan peluang yang sangat prospek untuk pengembangan ekoturisme. Ekoturisme dapat memberikan kontribusi dan menghasilkan sebuah mekanisme dana untuk kegiatan konservasi dan secara ekonomi akan memberdayakan masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekoturisme akan menjamin keamanan dan keberadaan sumberdaya alam tersebut.
Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan ekoturisme adalah bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis (dan politis) menjadi keunggulan kompetitif di era pasar bebas. Kerjasama yang sinergi antara semua stakeholder merupakan jawaban untuk mengatasi berbagai kendala dalam pengembangan ekoturisme.
Pengembangan ekoturisme memerlukan keahlian yang multidisiplin dan melibatkan berbagai stakeholder. Konsep carrying capacity dan partisipasi masyarakat lokal harus menjadi pertimbangan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan program.
Kegiatan penelitian diperlukan sebagai dasar pelaksanaan program, sedangkan pendidikan diperlukan untuk penyamaan visi, kesadaran, pemahaman, atau keterampilan para stakeholder. Pendidikan dan penelitian sangat menentukan kualitas dan keberhasilan program ekoturisme.
DAFTAR PUSTAKA
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan For Indonesia. Jakarta.
Dephutbun. 2000. Teknik Pengelolaan dan Kebijaksanaan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Proceeding Workshop. Bogor.
Dirjen PKA. 2000. Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Makalah diskusi Widiaswara Dephutbun. Bogor.
David Western. 1993. Memberi Batasan tentang Ekoturisme. Ekoturisme Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. The Ecotourism Society. North Bennington, Vermonth.
Dorfman, Robert and Nancy S. Dorfman, 1977. Economic of The Environment. Secon Edition. WW.Norton and Company.Inc.New York.
Fandeli, C., 1999. Pengembangan Ekowisata dengan Paradigma baru Pengelolaan Areal Konservasi. Makalah dalam lokakarnya Paradigma Baru Manajemen Konservasi. Yogyakarta.
Kodyat, H. 1998. Sejarah Lahirnya Ekowisata di Indonesia. Makalah Workshop dan Pelatihan Ekowisata. Yayasan Kehati. Bali.
Mardiastuti, A., 2000. Penelitian dan Pendidikan untuk Kegiatan Ekoturisme di Taman Nasional. Makalah dalam lokakarya Pengembangan Ekoturisme di Taman Nasional. Cisarua Bogor.
INDECOM. 1996. Hasil Simposium Ekoturisme Indonesia. Gadog. Bogor.
Supriatna, J. 1995. Ekowisata dan Prospeknya di Indonesia: sudut Pandang dari Biologi Konservasi. Pusat Studi Biodiversitas dan Konservasi Universitas Indonesia dan Conservation International Indonesia Program. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar